Maka yang selanjutnya terjadi, perkelahian menghadapi macan menjadi begitu gegap gempita, herois, semua orang ingin tahu dan menyaksikannya. Pada posisi ini, media begitu bergairah mengekspos dan mengcovernya. Sementara, saat realitas korupsi itu terjadi di sekolah, misalnya pada pungutan berdalih MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), ibarat menonton orang menangkap tikus, apa anehnya?
Hal semacam itu menjadi latar belakang kegelisahan ICW yang berinisiatif mengadakan pengawasan terhadap pelayanan publik di sektor pendidikan. Sasarannya adalah otonomi pengelolaan sekolah yang dikenal dengan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), terkait dengan penghilangan SPP yang bermetamorfosis menjadi berbagai pungutan berdalih demi APBS (Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah).
Pengawasan ICW ini menggunakan metode Report Card System (RCS) yang mengadopsi metode Public Affairs Centre di Bangdore India. Salah satu aspek pentingnya, adanya transformasi gerakan berteriak (shouting) menjadi berhitung (counting). Maka teriak-teriaknya kini didukung dengan argumentasi yang kuat berdasarkan perhitungan statistik. Masyarakat dilibatkan dari awal, FGD (Front Group Discussion) di Jakarta Utara langsung berinteraksi dengan responden di berbagai kalangan masyarakat.
Hasilnya, ditemukan adanya 33 jenis pungutan di sekolah, diantaranya, biaya sewa buku, baju olahraga, buku paket, LKS dan sebagainya. Yang unik di Jakarta Utara ditemukan istilah “guru gopek”, guru membolehkan murid membuka buku ujian kalau murid mau bayar lima ratus rupiah (hal: 50).
Demikian salah satu cuplikan dari Prosiding Pertemuan Perencanaan Strategi FPPM dengan judul besar “Peta Pengembangan Partisipasi Masyarakat”. Buku ini mengangkat berbagai refleksi dan gagasan berkaitan dengan partisipasi di ruang publik. Tema-tema yang diangkat, partisipasi dalam pembuatan kebijakan publik, pengelolaan sumber daya alam, partisipasi di ranah politik, dsb. Cuplikan tadi merupakan refleksi gagasan dalam kerangka tema partisipasi di ruang publik, disampaikan Danang Widoyoko dari ICW.
Dalam ranah pengelolaan sumber daya alam, Diah Rahayu dari Kendil menyoroti masalah kerusakan SDA yang disebabkan, pemegang hak kelola, konversi fungsi kawasan dan kegiatan ilegal. Dampak langsung dari kerusakan SDA ini salah satunya bencana alam yang menimpa masyarakat. Ini mengingatkan kita pada adanya pembangunan berbagai hotel, villa dan tempat pariwisata di Kawasan Bandung Utara. Patut dipertanyakan pertimbangan pemberian IMB (Izin Membuat Bangunan) di area itu. Padahal, banyak pihak memahami fungsi vital KBU sebagai daerah resapan air. Apa yang kemudian terjadi jika KBU yang tadinya merupakan sentra pertanian dan kehutanan, beralih fungsi menjadi bangunan. Tidaklah aneh, jika Bandung berlangganan banjir di tiap tahunnya.
Diah Raharjo mendeteksi keadaan tersebut dalam konteks partisipasi. Berbagai kelemahan advokasi pengelolaan SDA diakibatkan oleh, tidak dilibatkannya pihak-pihak atau koalisi yang membahas masalah kebijakan dalam SDA. Biasanya yang diajak hanya “kawan” yang sepihak. Kurangnya kesabaran dengan orang-orang yang berbeda pandangan, serta kurangnya kesabaran untuk memproses partisipasi sesungguhnya dari warga.
Secara garis besar, dalam pembangunan demokrasi, partisipasi publik merupakan kekuatan dari bawah yang secara potensial mampu membangun sebuah masyarakat demokratis yang ajeg, kebijakan publik yang efektif serta tata kelola pemerintahan yang transparan yang hanya bisa terwujud oleh keterlibatan masyarakat itu sendiri.
Begitu banyak masukan, pengalaman dan gagasan yang terangkum dalam Prosiding ini. Berbagai pihak dengan latar belakang akademi maupun praktis turut meramaikan pembicaraan. Ada Adik Handiyano dari KIKIS yang secara padat berbicara kebijakan penanggulangan kemiskinan, Endrizal Nazir dari PKS Kota Bandung berbicara tentang instiusionalisasi partisipasi politik warga, Hartono dari Dewan Pendidikan Bandung, Dedi Haryadi dari BIGS yang berbicara tentang Monitoring Anggaran serta berbagai pihak yang telah malang melintang di dunia aktivitas pengembangan partisipasi masyarakat.
Bagi anda yang bergelut dengan permasalahan hukum dan kebijakan pemerintahan, utamanya pejabat publik, pekerja di instansi pelayanan publik, pegiat LSM maupun mahasiswa atau intelektual, prosiding ini merupakan referensi yang representatif untuk memahami kondisi real, membuka wawasan, solusi dan paradigma baru bagi pengembangan partisipasi. (Dian Malensko)#
Judul | : Peta Pengembangan Partisipasi Masyarakat |
Terbit | : Cetakan Pertama, Januari 2005 |
Penyunting | : Suhirman dan Agus Wibowo |
Penerbit | : Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat bekerja sama dengan Ford Foundation |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar