Kamis, 21 Oktober 2010

Bagaimana Agar Petani Tidak Miskin?

Petani Indonesia miskin, bukan karena harga pupuk naik; juga bukan karena pemerintah mengimpor beras. Mengaitkan kenaikan harga pupuk dan impor beras dengan kemiskinan petani adalah sebuah pernyataan politik.
Pernyataan demikian justru akan menyembunyikan permasalahan pokok, yang selama ini telah mengakibatkan petani tetap miskin. Petani kita, terutama petani padi, tetap miskin karena dua isu pokok. Mereka tidak terorganisasi dengan baik dan sekaligus tidak punya database padi.
Dua hal inilah yang dimiliki petani padi India, Thailand, dan Vietnam. Meski harga pupuk naik, mereka tetap bisa mengekspor beras ke Indonesia sebab mereka selalu surplus. Petani Indonesia sangat lemah karena pemerintah tidak pernah mampu melihat permasalahan pokok yang dihadapi para petani padi kita. Hingga solusi yang diberikan pun juga selalu salah.
Indonesia memang punya Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) serta Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA). Dua-duanya bentukan pemerintah. HKTI adalah hasil peleburan berbagai ormas tani atas kehendak pemerintah Orde Baru pada tahun 1973. Sementara KTNA merupakan perkembangan dari lembaga serupa yang sudah ada sejak zaman Belanda. HKTI adalah society, sementara KTNA baru kelompok. Dua-duanya tidak akan pernah bisa memakmurkan petani.
Petani kita perlu Kelompok Tani Padi, Koperasi Produksi Padi, dan Asosiasi Petani Padi. Kalau ada pertemuan padi internasional, umumnya yang datang dari negara lain adalah wakil Asosiasi Padi, bukan ketua society seperti wakil dari Indonesia. Kita memang sudah punya koperasi unit desa (KUD). Namun, KUD adalah koperasi serba usaha, yang kerjanya memberikan kredit (seperti koperasi kredit), menjual minyak tanah (seperti halnya koperasi konsumsi), dan membeli gabah petani dengan harga yang selalu jauh di bawah harga pasar. Itulah sebenarnya “penyakit utama” yang diderita petani kita.
Yang selalu diklaim sebagai database pertanian oleh aparat Departemen Pertanian sebenarnya hanyalah data statistik, bukan database pertanian. Mengapa Indonesia tetap tidak memiliki asosiasi dan database padi? Karena aparat pemerintah kita, para pengajar di perguruan tinggi, dan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) kita tidak pernah benar-benar mau memperbaiki keadaan.
Bukan subsidi, tetapi insentif
Pemberian subsidi ke petani sebenarnya sangat tidak sehat. Sebab, petani yang tidak berprestasi pun akan ikut menikmati subsidi. Beda dengan insentif, yang hanya akan diberikan apabila petani mencapai standar tertentu dalam memproduksi komoditas pertanian. Para petani di Jepang menerima insentif ketika bersedia menanam padi. Sebab, minat menanam padi sudah sangat menurun di negeri ini. Kalau panen mereka melampaui target, insentifnya tambah.
Kalau para petani padi ini mau menanami lahan pertanian nonpadi, insentifnya akan bertambah besar lagi. Insentif tertinggi diberikan apabila para petani padi tersebut menanami lahan nonpertanian yang masih menganggur.
Salah satu bentuk insentif adalah pemberian kredit dengan bunga murah. Di Taiwan, petani padi yang mau menanami lahan pertanian nonpadi akan memperoleh kredit dengan tingkat suku bunga lebih rendah. Petani yang bersedia menanam padi di lahan nonpertanian akan memperoleh pembebasan pajak bumi. Pemberian insentif melalui bunga murah ini bisa berlangsung dengan tertib karena adanya asosiasi dan tersedianya database padi. Tanpa itu semua, pemberian kredit murah hanya akan menghasilkan salah urus.
Revitalisasi pertanian
Jadi sekali lagi database dan pembentukan koperasi produksi padi serta asosiasi petani padi mutlak diperlukan. Kalau harga pupuk naik dan petani ingin protes, yang protes adalah asosiasi petani padi, bukan LSM atau society yang membela petani, sambil menggendong kepentingan politik mereka.
Sebenarnya tahun lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mencanangkan adanya Revitalisasi Pertanian. Istilah revitalisasi bermakna bahwa para petani kita pernah mencapai “puncak vitalitas”, tetapi karena satu dan lain hal kemudian menurun vitalitasnya. Yang terjadi di Indonesia, petaninya sama sekali belum punya alat vital, berupa kelembagaan dan database. Bagaimana mau direvitalisasi kalau alat vitalnya tidak pernah ada?
F Rahardi Penyair, Wartawan
http://nasih.staff.ugm.ac.id/a/pert/20061123%20baga.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar